Ashabul kahfi merupakan
sebuah cerita teladan yang disebutkan di dalam al-Quran pada surat
al-Kahfi ayat 9 sampai dengan ayat 26 dari 110 jumlah ayatnya. Cerita
ini mengkisahkan beberapa penghuni gua yang mengandung i’tibar dan
pelajaran yang amat berguna bagi kehidupan manusia.
Cerita ini
bermula dari sebuah kota, terletak di antara dataran luas yang sangat
subur.Kebanyakan mata pencaharian penduduk negeri ini adalah bercocok
tanam dan perkebunan dengan menanam pohon kurma, buah-buahan jeruk,
anggur dan semangka. Sebagian penduduk yang lainnya beternak hewan
seperti sapi, kambing, biri-biri dan onta, sehingga mereka hidup makmur,
mereka makan hasil buminya dengan nikmat dan hidup damai sejahtera.
Agama
yang dipeluk penduduk ini dan keyakinan mereka, sebagaimana penduduk
negeri-negeri lain di dunia ini adalah bermacam-macam. Sebagian mereka
ada yang beriman kepada Allah dan RasulNya, tetapi sebagian besar mereka
adalah penyembah berhala, patung dan menyembelih hewan kurban untuknya.
Yang memerintah negeri yang subur nan
makmur ini adalah seorang Raja yang lebih condong kepada agama berhala
penyembah patung dan mengajak orang lain dengan paksa agar turut
menyembahnya, bila tidak mengikuti kehendaknya, rakyat mengalami
penyiksaan yang sangat kejam.
Keadaan dan
kondisi ini telah berlangsung puluhan tahun lamanya di bawah
kepemimpinannya, banyak diantara kaum muslimin mendapatkan siksaan yang
luar biasa, sehingga tiada satu haripun bila ada berita yang sampai
kepadanya tentang keberadaan seorang mukmin atau mukminah, pasti
ditegakkan hukuman dengan menyiksanya atau menyembelihnya di depan umum,
sehingga ia yakin benar dapat mencabut benih-benih iman dari dada
penduduknya yang telah lama beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Dengan
kondisi politik & sosial yang sangat menyudutkan kaum yang beriman
kepada Allah inilah, masih ada beberapa orang yang beriman kepada Allah
SWT secara sembunyi-sembunyi, karena mereka lebih takut kepada siksa
Allah yang lebih kejam di hari kiamat kelak. Mereka dengan lantang penuh
keberanian mendeklarasikan sikap untuk mengabaikan perintah pemimpin
mereka. Mereka mampu menguasai diri, sebab mereka memiliki keoptimisan
yang dibingkai ruh mas'uliyah (tanggung jawab), ruh isti'la (merasa
tinggi) dan sosok kepemimpinan.
Sikap yang mereka lakukan adalah
dengan tetap memegang teguh iman kepada Allah SWT dan mengucilkan diri
pada sebuah gua sebagai tempat berlindung seraya berdoa : “Wahai tuhan
kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi
kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini”.
Namun,
kehendak Allah menginginkan lain, Allah menidurkan mereka dan menutup
telinga mereka dari segala kebisingan. Lalu setelah 309 tahun
(Qomariyah) lamanya, Allah kembali membangunkan mereka.
Akhirnya,
terbukalah segala keajaiban setelah mereka terjaga, terlebih setelah
salah satu diantara mereka meminta kawannya untuk membeli sesuatu untuk
mengganjal perut yang kosong, mereka sadar, bahwa mereka berada di alam
yang bertolak belakang dengan kenyataan lama, mereka berada di
lingkungan masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama islam dan
mereka yakin, bahwa mereka adalah pelaku sejarah yang dapat menambah
keimanan mereka dan kaum mukminin semua.
Demikianlah
akhirnya, sesuai dengan janji Allah SWT, bahwa : “Sesungguhnya mereka
yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik” (al-Kahfi :
30). Sehingga mereka pun bergabung menjadi bagian dari masyarakat yang
mayoritas penduduknya beragama islam.